Alasan Mengapa Berpikir Kritis Tidaklah Cukup

Home » Article » Alasan Mengapa Berpikir Kritis Tidaklah Cukup

Category:

Berbicara mengenai berpikir kritis, saya yakin jika Anda sudah sangat sering mendengar mengenai definisi berpikir kritis itu sendiri. Bahkan, barangkali Anda telah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan menggunakannya sebagai salah satu pondasi dalam berpikir. Namun, terdapat berbagai faktor yang membuat cara berpikir kritis tidaklah cukup. Bahkan bagi orang-orang jenius seperti Steve Jobs sekalipun sempat melewatkan faktor krusial yang ingin saya sampaikan pada artikel kali ini.  Dan inilah faktor penyebab dan alasan mengapa berpikir kritis tidaklah cukup.

Kita Adalah Seorang Pengkhotbah, Jaksa, dan Politikus

Bertemu dan berbicara dengan orang yang keras kepala memang merupakan sebuah hal yang dapat dibilang sangat menyebalkan. Dan saya yakin jika Anda pernah bertemu dan berinteraksi dengan seseorang yang memiliki watak keras kepala seperti itu. Namun, jika Anda berpikir bahwa Anda tidaklah demikian, bisa jadi Anda salah besar dan terjebak dalam bias pemikiran Anda sendiri.

Entah Anda sadari ataupun tidak, setiap kali kita berpikir dan berbicara, kita seringkali masuk dalam alam pikiran tiga profesi berbeda: pengkhotbah, jaksa, dan politikus.

Kita menjadi seorang pengkhotbah ketika kita merasa tersinggung saat kepercayaan atau argumen kita diserang, dan kita pun berceramah untuk melindungi segala nilai-nilai ataupun kepercayaan yang kita junjung. Kita lebih yakin akan pemahaman serta cara pikir kita sendiri, daripada bersusah payah untuk memahami ide-ide baru. Dan kita meyimak berbagai pendapat yang kita sukai, tetapi menolak gagasan-gagasan yang membuat kita berpikir keras.

Kemudian kita menjadi jaksa saat kita mendapatkan sebuah celah ataupun kelemahan dalam cara pikir seseorang. Kita berusaha sebisa mungkin untuk membuktikan bahwa orang lain lah yang salah, dan kita cenderung mempertahankan mati-matian apa yang kita ketahui serta yakini.

Setelah itu, kita berubah menjadi seorang politikus yang ingin memenangkan hati banyak orang, mendapatkan suara terbanyak, membela diri kita sendiri, dan mengalahkan orang lain yang berbeda pendapat dengan kita.

Pada akhirnya, kita terjebak dengan pemahaman diri kita sendiri. Berceramah mengenai sesuatu yang menurut kita adalah benar, dan sibuk untuk mengubah pikiran orang lain agar satu pemahaman dengan kita.

Dan akhirnya, kita tidak lagi berpikir ulang mengenai cara pikir kita sendiri.

Sesat Pikir

Kita cenderung bersemangat jika berkaitan dengan sebuah pembaruan. Pakaian model lama yang kita miliki kita ganti dengan yang model yang baru. Alat dan teknologi yang telah usang kita ganti dengan yang lebih modern, cepat, dan efisien. Ilmu pengetahuan dan data-data empiris selalu tergantikan dengan aneka penemuan-penemuan serta data-data terbaru.

Namun, hal sebaliknya terjadi dengan pengetahuan dan pendapat.

Kita cenderung mempertahankan apa yang kita ketahui. Dan semakin lama dimiliki, keyakinan seseorang mengenai suatu hal cenderung malah semakin ekstrem dan mengakar. Bahkan barangkali Anda masih yakin akan ramalan zodiak adalah benar.

Illustrasi mengapa berpikir kritis tidaklah cukup

Biasanya, dengan cepat kita seringkali menyuruh orang lain untuk berpikir dua kali atas pendapatnya sendiri. Namun ironisnya, ketika berurusan dengan pengetahuan dan pendapat dari diri kita sendiri, kita lebih suka merasa benar daripada mengetahui kebenaran. Sedangkan apa yang menurut kita adalah benar, bisa jadi telah usang dan tidak lagi berguna untuk diterapkan, tapi kita tidak sadar akan hal tersebut karena membutuhkan lebih banyak usaha dan tenaga untuk berpikir ulang.

Dalam buku berjudul “Thinking Fast and Slow karya Daniel Kahneman”, dijelaskan bahwa manusia memiliki dua sistem dalam berpikir. Yakni Sistem 1 dan Sistem 2.

  • Sistem 1 beroperasi secara otomatis dan cepat, membutuhkan sedikit atau tanpa usaha dan tanpa ada perasaan sengaja dikendalikan
  • Sistem 2 memberikan perhatian kepada aktivitas mental yang membutuhkan usaha lebih, termasuk perhitungan rumit.

Karena sistem 2 membutuhkan lebih banyak usaha dan tenaga, seringkali kita malas untuk menggunakan cara berpikir sistem 2, dan lebih menggunakan sistem 1 yang berjalan secara otomatis.

Sebagai contoh, silakan simak dan jawab pertanyaan dibawah ini:

Berapa kali angka 9 keluar dari skala 0 – 100?

Saya sendiri menanyakan pertanyaan tersebut kepada beberapa teman-teman saya, dan seringkali mereka menjawab jika angka 9 keluar sebanyak 10 kali dari skala 0 – 100. Barangkali Anda juga memiliki jawaban yang sama.

Namun,  bagi Anda yang menjawab angka 9 keluar sebanyak 10 kali dari skala 0 – 100 Anda keliru.

Jawaban yang benar adalah 19 kali.

Tidak percaya? Silakan hitung sendiri:

9, 19, 29, 39, 49, 59, 69, 79, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99

Jika dalam pertanyaan tersebut Anda salah dalam menjawab, silakan amati sebuah pertanyaan dibawah:

Berapa banyak jumlah binatang yang dibawa Musa dalam bahtera?

Jumlah orang yang menyadari kesalahan dalam pertanyaan tersebut teramat sangat kecil. Jika Anda belum tahu letak kesalahan dalam pertanyaan diatas, letak kesalahannya adalah yang membawa binatang dalam bahtera adalah Nuh, bukan Musa.

Saya tidak bermaksud untuk membuat Anda merasa bodoh.

Siapapun bisa terperangkap dengan cara pemikiran seperti ini. Termasuk orang-orang jenius sekalipun.

Itulah mengapa jika Anda mengaku bahwa Anda adalah orang yang kritis, tidak menyebalkan, tidak keras kepala, barangkali Anda telah terjebak dalam bias pemikiran ataupun keyakinan Anda sendiri.

Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Berpikir Ulang

Bagi seorang ilmuan, berpikir ulang merupakan salah satu aspek mendasar yang harus dimiliki. Jika Anda adalah seorang ilmuan, Anda dituntut untuk meragukan apa yang sudah Anda ketahui, dan memperkaya serta mengubah pandangan Anda sesuai dengan fakta dan data terbaru yang ada. Karena penerapan cara pikir tersebut, saat ini kita mengalami kemajuan dalam berbagai bidang. Seperti dengan ditemukannya smartphone, komputer, roket luar angkasa, internet, dan masih banyak lagi.

Cara pikir ilmuan tidak hanya berlaku bagi orang-orang berjas putih dengan mikroskop di laboratorium. Cara tersebut juga berlaku bagi diri kita sendiri ketika menjalani kehidupan sehari-hari. Ditambah lagi, cara pikir ilmuan juga berbeda dari cara pikir sang pengkhotbah, jaksa, dan politikus.

Ketika kita menggunakan cara pikir ilmuan (berpikir ulang), kita melakukan hipotesis dan bereksperimen untuk mendapatkan pengetahuan. Ditambah lagi, hipotesis akan selalu ada dalam segala aspek dalam kehidupan, dan dengan menerapkan cara pikir ilmuan, kita dapat berubah serta mencapai kemajuan.

Tapi, sepintar apapun seseorang, jika ia tidak memiliki motivasi untuk berubah pikiran ataupun berpikir ulang, dia akan kehilangan beragam kesempatan untuk berkembang.

Mengapa Berpikir Kritis Tidaklah Cukup

Jika berbicara mengenai seorang tokoh yang terkenal akan kejeniusan, terobosan, dan pemikirannya, barangkali seorang Steve Jobs adalah contoh yang bagus.

Namun, bahkan seorang Steve Jobs sekalipun juga gagal untuk “berpikir ulang” demi Apple-nya, dan terjebak dengan bias pemikirannya sendiri.

Logo Apple

Kita semua tahu jika Steve Jobs merupakan orang dengan pemikiran kritis, bahkan dia berpikir dengan cara berbeda, tapi untuk “berpikir ulang” utamanya dilakukan oleh timnya.

Pada 2004, sekelompok ahli teknologi, desainer, dan ahli pemasaran mempresentasikan usulan mereka kepada Steve Jobs, untuk mengembangkan IPod menjadi ponsel. Namun, Jobs dengan tegas mengatakan bahwa “itu adalah ide paling bodoh yang pernah ia dengar”. Bahkan ia berkali-kali bersumpah, baik dalam rapat ataupun panggung umum, jika ia tidak akan pernah membuat ponsel.

Meskipun data dan tren yang tersedia menunjukkan minat terhadap ponsel semakin meningkat, Jobs tetap tegas bertahan dengan gagasannya sendiri.

Tapi terlepas dari keengganan Jobs, beberapa ahli teknologi Apple memilih untuk melanjutkan penelitian ini dan membujuk Jobs agar dia mau mengakui bahwa dia tidak tahu apa-apa soal ponsel, dan meragukan keyakinannya sendiri.

Pada akhirnya Steve Jobs pun merasa tergelitik dan merestui pengembangan produk Apple. Lalu, hanya empat tahun setelah IPhone rilis, IPhone menyumbang separuh dari kekayaan Apple.

Foto Iphone

Atau contoh ekstrem lain yakni dari seorang Mike Lazaridis, salah satu pendiri, presiden, dan salah satu CEO perusahaan BlackBerry.

Bagi seorang Mike Lazaridis, BlackBerry merupakan salah satu temuan besarnya. Bahkan, ponsel BlackBerry sendiri sempat menjadi penyumbang separuh dari pasar smartphone di Amerika.

Namun, kegagalan BlackBerry sendiri juga merupakan akibat dari kegagalan Mike untuk “berpikir ulang” dalam posisinya sebagai CEO.

Dalam kasus BlackBerry, Mike terjebak dalam siklus terlalu percaya diri.

Contoh paling gamblangnya adalah pada tahun 2012 ketika IPhone telah menguasai seperempat pasar smartphone dunia, dan dia masih bersikeras menolak konsep ponsel yang memiliki layar sentuh. Dia berpendapat bahwa “Keyboard adalah satu alasan utama kustomer membeli BlackBerry”.

Saat posisi IPhone meroket naik, ia juga tetap bersikukuh dengan pendapatnya sendiri, dimana ia menolak segala fitur-fitur yang dapat ditambahkan ke dalam ponsel BlackBerry, dengan alasan pemborosan daya perangkat dan membebani bandwidth jaringan.

Namun, ketika Mike akhirnya mulai memikirkan konsep layar dan program perangkat lunak dibaliknya, giliran beberapa ahli teknologinya yang menolak untuk meninggalkan hasil kerja mereka pada masa lalu.

Kegagalan untuk berpikir ulang pun menyebar di perusahaan, dan pada akhirnya BlackBerry-pun jatuh akibat keyakinan Mike akan gagasannya sendiri.

Paradox Keyakinan

Ternyata, orang-orang pintar jauh lebih mudah untuk terjebak dalam bias pemikiran mereka sendiri.

Dalam Psikologi terdapat beberapa jenis bias yang dapat menjelaskan pola kejadian di atas:

  • Pertama, bias konfirmasi: kita melihat hanya informasi yang sesuai dengan dugaan kita
  • Kedua, bias keinginan: kita melihat hanya informasi yang kita inginkan.

Kedua bias pemikiran ini seringkali membuat kita tidak mampu menggunakan kecerdasan kita. Justru, bias pemikiran malah dapat mengubah kecerdasan kita untuk menyerang kebenaran ataupun memenjara diri kita sendiri.

Dan bias pemikiran yang paling umum muncul pada diri setiap orang adalah “Saya tidak bias” – Atau dengan kata lain “saya orang yang merasa lebih objektif dari semua orang lain”, padahal sebenarnya dirinya sendiri adalah orang yang tidak mampu mengenali keterbatasannya sendiri.

Illustrasi kebodohan diri sendiri

Untuk berpikir ulang seperti layaknya seorang ilmuan, memiliki pemikiran kritis, terbuka, dan berbeda saja tidaklah cukup. Kita harus berpikiran terbuka secara aktif. Artinya, kita aktif mencari hal-hal yang menyangga pendapat kita, bukan hanya hal-hal yang mendukungnya, kemudian bersedia mengubah pendapat itu berdasarkan hal-hal terbaru yang kita dapatkan.

Contoh simpelnya pernah saya alami sendiri. Dulu saya sempat berpikir jika penyebab utama pemanasan global adalah asap kendaraan, asap pabrik, dan kurangnya reboisasi. Namun, setelah saya membaca beberapa buku yang berkaitan dengan pemanasan global, pendapat saya pun berubah, dari yang awalnya saya percaya bahwa polusi merupakan penyebab utama pemanasan global, ternyata “Uang” -lah yang menjadi faktor utama dari pemanasan global itu sendiri.

Atau contoh lain yang juga sempat saya alami adalah dimana terdapat sebuah buku terkenal berjudul “The Secret”, yang membahas kurang lebih mengenai Law of Attraction. Bahkan terdapat sebuah kutipan dalam bukunya dimana kurang lebih berbunyi seperti: “Jika Anda menginginkan sesuatu, Anda hanya cukup meyakini dan membayangkannya dalam benak Anda, maka Anda akan mendapatkannya”.

Bukannya saya anti terhadap berpikir positif. Namun, setelah saya membaca buku dan tulisan dari beberapa penulis yang berbeda, saya mendapati bahwa The Secret tidak berhasil.

Bahkan salah satu penulis terkenal bernama Mark Manson, seorang penulis dari buku best seller berjudul “The Subtle Art of Not Giving a Fuck”, dia menuliskan dalam blognya bahwa ia membenci buku The Secret karena sangat delusional, dan menyatakan bahwa buku tersebut adalah buku yang berbahaya untuk dibaca maupun diterapkan.

Oleh karena itu, saya tidak pernah merekomendasikan siapapun untuk membacanya, tapi jika Anda ingin mencobanya itu terserah Anda.

Books like The Secret are like McDonald’s for the mind. They’re easy and make you feel good, but they also make you mentally fat and lazy—and emotionally, you die a much more painful death

Mark Manson

Kesimpulan

Sampai sini saya yakin jika Anda sudah memahami berbagai alasan mengapa berpikir kritis tidaklah cukup.

Selain berpikir kritis, kita juga harus terus menerus berpikir ulang mengenai segala pengetahuan yang kita miliki dan gagasan yang kita yakini.

Jangan sampai gagasan yang kita yakini berubah menjadi ideologi bagi diri sendiri.

Pengetahuan adalah kekuatan, namun pengetahuan juga dapat berubah menjadi “kutukan”. Membuat benak kita tidak dapat melihat hal-hal yang tidak kita ketahui.

Tujuan belajar bukanlah menguatkan keyakinan kita, melainkan mengizinkan keyakinan itu berevolusi.

Pengetahuan adalah kekuatan, tetapi mengetahui apa-apa saja yang tidak kita tahu adalah kebijaksanaan

Semoga kita senantiasa selalu memiliki kemauan untuk belajar dan berpikir ulang.

Regards,
AL.


Baca Juga