Pelajari cara membangun disiplin diri yang kuat agar dapat mencapai tujuan hidup dengan lebih efektif dan terarah
Saat ini media sosial seringkali menjadi kambing hitam dalam berbagai masalah sosial dan kesehatan mental yang ada. Ditambah lagi, masalah-masalah tersebut juga mengalami peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini. Tapi apakah benar jika media sosial adalah penyebabnya?
Dalam artikel kali ini, Anda akan menemukan jawaban yang berlawanan dari biasanya.
Mungkin sudah banyak diantara kalian yang sering mendengar atau melihat berbagai macam artikel ataupun berita mengenai dampak buruk media sosial.
Banyak headline-headline berita ataupun artikel yang bersliweran menuliskan dampak-dampak buruk sosial media, mulai dari bagaimana dampaknya untuk anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Bahkan berbagai masalah sosial ataupun masalah mental, seperti rasa tidak aman, depresi, dan meningkatnya tingkat kecemasan dalam masyarakat di seluruh dunia, semuanya mengambinghitamkan sosial media.
Sekarang pertanyaannya adalah:
“Apakah benar jika sosial media adalah masalahnya? Ataukah kita sebagai manusia dan pengguna sosial media-lah yang sebenarnya bermasalah?”
Memang benar, jika tingkat depresi, gangguan kecemasan, dan berbagai masalah mental ataupun sosial mengalami peningkatan di beberapa tahun belakangan ini.
Berbagai riset yang membahas mengenai keterkaitan antara penggunaan sosial media dan tingkat depresi juga sudah banyak dilakukan. Ditambah lagi, banyak hasil yang menyimpulkan bahwa memang ada keterkaitan antara depresi dan penggunaan sosial media.
Sebagai contoh, terdapat sebuah riset yang dilakukan di Amerika menemukan adanya hubungan antara penggunaan sosial media dan meningkatnya tingkat depresi serta percobaan bunuh diri.
Itu baru satu diantara banyaknya riset serupa, yang mengaitkan antara penggunaan sosial media dan tingkat depresi, yang memiliki banyak kesimpulan dan hasil yang sama – atau dapat disimpulkan seperti:
“semakin banyak penggunaan media sosial = semakin banyak orang yang depresi”
Kesimpulan dalam hasil dari berbagai penelitian seperti itu menunjukkan memang ada dua hal yang terjadi pada saat yang bersamaan.
Tapi, tidak menunjukkan apakah kedua hal tersebut berkaitan atau tidak.
Oleh karena itu, ada satu pertanyaan lagi yang muncul dari penelitian seperti itu.
Yakni:
“Apakah sosial media yang menyebabkan orang menjadi depresi? Atau justru orang depresi-lah yang akan lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk menggunakan sosial media?”
Memang lebih mudah untuk mengumpulkan banyak orang, lalu bertanya kepada mereka: “Kira-kira berapa lama waktu yang mereka habiskan di sosial media?” dan “Apakah mereka merasa cemas, depresi, ataupun tertekan?”
Kemudian, jadilah sebuah kesimpulan dari jawaban-jawaban yang diberikan.
Yang jauh lebih sulit adalah ketika mengumpulkan banyak orang, lalu melacak, dan memeriksa mereka semuanya selama bertahun-tahun, serta mengamati – apakah ada perubahan signifikan dalam penggunaan sosial media yang memengaruhi kesehatan mental mereka atau tidak.
Tentu saja penelitian seperti itu sangatlah sulit, memerlukan banyak tenaga, uang, dan waktu untuk dihabiskan. Tapi dari situ kita dapat benar-benar tahu, apakah penggunaan sosial media berpengaruh juga terhadap kesehatan mental penggunanya atau tidak.
Namun kabar baiknya, penelitian seperti itu sudah pernah dilakukan sebelumnya, yang mungkin belum pernah kita dengar.
Salah satu contoh datang dari para peneliti dari Birgham Young University.
Mereka meneliti 500 orang, antara umur 13 dan 20 tahun, dari tahun 2009 hinga 2017. Setelah delapan tahun melakukan penelitian, para peneliti menyimpulkan bahwa mereka tidak menemukan korelasi antara depresi dan penggunaan sosial media
Satu contoh lain adalah penelitian yang dilakukan di Finlandia. Kali ini mereka meneliti sejumlah 2.891 remaja, antara tahun 2014 dan 2020. Dan lagi, mereka tidak menemukan hubungan antara penggunaan sosial media dan pengaruhnya terhadap gejala depresi serta kecemasan
Satu lagi penelitian serupa yang dilakukan di Kanada, yang melibatkan 600 siswa sekolah menengah dan perguruan tinggi. Yang lagi-lagi dapat disimpulkan bahwa penggunaan sosial media tidak berpengaruh dan tidak menyebabkan gejala depresi.
Lalu pertanyaan yang sering muncul adalah – “lalu mengapa orang-orang sering merasa iri, cemburu, ataupun cemas, ketika melihat kehidupan atau postingan orang lain yang jauh lebih baik dari mereka?”
Sebuah penelitian di Jerman yang melibatkan 514 orang, menemukan bahwa semakin tertekan atau cemas pengguna media sosial, atau semakin depresi pengguna sosial media, semakin besar pula kemungkinan mereka akan iri dan tertekan dengan hidup orang lain, dan juga cemburu terhadap apa yang mereka lihat
Penelitian yang sama yang dilakukan di Kanada juga menyimpulkan hasil yang sama. Oleh karena itulah, para peneliti condong ke kesimpulan bahwa kecemasan dan depresilah yang mendorong kita untuk menggunakan media sosial dengan cara yang salah, atau mungkin bisa dibilang mengerikan.
Selain itu, ada juga penelitian pada tahun 2012 yang menemukan bahwa membuat status di facebook dapat mengurangi rasa kesendirian atau kesepian. Ditambah lagi ada juga dari sebuah penelitian di Islandia, yang menyimpulkan bahwa penggunaan sosial media sebenarnya mengurangi tingkat depresi dan kecemasan.
Perlu kita ingat, bahwa media sosial itu sebenarnya ada untuk membantu setiap orang mengatasi keterbatasan bersosialisasi dengan orang lain, bahkan banyak dana yang digelontorkan agar setiap orang menjadi semakin mudah dan nyaman untuk saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak ada yang salah dengan itu.
Sebagai contoh, jika kalian lagi ada di tongkrongan, dan teman kalian sibuk mainan hp daripada ngobrol, pastinya yang patut disalahkan adalah teman kalian. Sama halnya dengan pengendara motor yang kebut-kebutan di jalan, yang membahayakan pastilah pengendaranya, dan bukan motornya.
Ditambah dengan adanya internet atau media sosial, dapat dipastikan bahwa segala berita atau informasi dapat kita akses dengan mudahnya. Oleh karena itu, dengan adanya informasi yang membludak dan mudah untuk diakses dengan jari-jari kita, alangkah baiknya kita memilah-milah dengan baik, kira-kira informasi dan hal-hal apa saja yang baik juga bermanfaat yang ingin kita akses.
Sudah sewajarnya kita menerima bahwa internet atau media sosial merupakan salah satu kemajuan teknologi yang ada, yang tidak akan lepas dari kehidupan sehari-hari. Yang pasti, kita tidak bisa mengendalikan informasi-informasi yang ada dan tersedia di media sosial.
Orang lain bebas untuk memposting apapun yang mereka suka, nonton yang apapun mereka suka, follow yang mereka suka, dan berbagai sumber berita juga bebas untuk memberitakan apapun yang ada.
Ditambah lagi, karena kita tidak dapat mengendalikan segala hal dalam media sosial dan juga orang lain, alih-alih menyalahkan media sosial, alangkah lebih baik jika kita mengendalikan diri kita sendiri. Itu adalah sikap yang jauh lebih dewasa dan bertanggung jawab, karena satu-satunya yang dapat kita kendalikan adalah diri kita sendiri.
Dalam buku “Man’s Search for Meaning, karya Viktor E. Frankl” dijelaskan bahwa kita memiliki kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan, kebebasan untuk merespon, dan kebebasan untuk memilih jalan kita sendiri. Itu adalah kebebasan yang tidak dapat dirampas oleh orang lain.
Menyalahkan media sosial juga akan percuma, jika yang bermasalah adalah diri kita sendiri. Pelarian pun akan sama saja, karena masalah yang tidak diselesaikan akan datang lagi dan lagi.
Media sosial tidaklah merusak kita, tapi barangkali hanya menunjukkan bahwa keadaan kita sebenarnya seperti apa.
Sebuah pertanyaan untuk diri sendiri seperti “bagaimana keadaanku saat ini” akan jauh lebih membantu untuk menemukan solusi daripada hanya sekedar menyalahkan. Karena bisa jadi bahwa cara pikir dan diri sendirilah yang perlu untuk dibenahi.
Mungkin akan ada sedikit pro dan kontra dalam pembahasan kali ini, dan bukan menjadi masalah karena saya harap hal ini dapat menjadi sebuah perspektif baru untuk Anda.
Terlebih lagi, saya ingin Anda untuk berpikir.
Semoga bermanfaat,
AL
https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2167702617723376
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0747563219303723?via%3Dihub
https://www.mdpi.com/1660-4601/17/16/5921
https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2167702618812727
https://econtent.hogrefe.com/doi/10.1027/1864-1105/a000247
https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1948550612469233
https://www.liebertpub.com/doi/10.1089/cyber.2019.0079
Pelajari cara membangun disiplin diri yang kuat agar dapat mencapai tujuan hidup dengan lebih efektif dan terarah
Self-compassion adalah langkah pertama dalam mencintai diri sendiri. Temukan cara mempraktikkannya untuk meningkatkan kesejahteraan mental
Ada banyak alasan yang mendasari pentingnya menjaga kesehatan mental. Simak bagaimana manfaat dan cara menjaganya!
Ketahui apa itu trauma, jenis-jenisnya, dan dampaknya pada kesehatan mental serta bagaimana cara mengatasinya untuk pemulihan yang efektif.
Temukan 7 buku yang wajib dibaca sekali seumur hidup, yang menawarkan pelajaran hidup, kebijaksanaan, dan pandangan baru untuk memperkaya diri
Mengatasi rasa cemas perlu Anda lakukan sedini mungkin sebelum kondisinya semakin parah. Berikut panduan mengatasinya!