Kita hidup di era paling maju, aman, dan makmur sepanjang sejarah. Beberapa hal seperti akses informasi, transportasi, dan komunikasi, semuanya menjadi sangat cepat dan efisien. Tapi dengan segala kemajuan yang ada dan mempermudah kita dalam berbagai hal, lantas apakah manusia menjadi semakin bahagia? Dan apakah mengejar kebahagiaan adalah hal yang baik? Lalu, apa makna kebahagiaan bagi manusia?
Anda akan mendapatkan sebuah jawaban serta perspektif baru dari pertanyaan tersebut dalam artikel kali ini.
Dan jika pada artikel sebelumnya kita sudah membahas mengenai kemajuan zaman yang berdampak pada lingkungan di bumi. Kali ini kita akan membahas mengenai secuil dampak dari kemajuan zaman pada…
“Manusia“
Setiap orang pasti ingin bahagia. Setiap orang juga pasti ingin ketenangan.
Oleh karena itu, bagaimana jika semisalkan kita hidup dengan tanpa adanya kejahatan? Ketika setiap orang saling menghormati, setara, dan tanpa adanya kekerasan – Apakah stress akan hilang? dan apakah kebahagiaan serta ketenangan akan kita dapatkan?
Seorang peneliti bernama Emile Durkheim pernah meneliti mengenai hal ini, dan jawabannya adalah sebaliknya. Ia mengatakan bahwa semakin nyaman dan etis sebuah masyarakat, semakin pikiran kita akan membesar-besarkan masalah kecil.
Selain itu, kita juga tidak semata-mata akan merasa bahagia, atau dengan kata lain kita justru akan menjadi lebih egois dan menjadi lebih manja.
Dapat disimpulkan, bahwa yang terjadi bukan seperti yang sering kita lihat dalam film-film.
Bukan juga seperti kalimat – “Happily ever after”.
Itu cuma bak mimpi di siang bolong.
Yang selalu bikin rempong.
Duh.
Tapi sekarang, saatnya waktumu untuk bangun dari tidurmu yang nyenyak itu.
Realitanya, kita memang hidup pada era paling makmur sepanjang sejarah umat manusia. Tapi ironisnya, kita hidup dimana lebih banyak orang mati karena kekenyangan daripada karena kelaparan, lebih banyak orang mati karena faktor usia daripada penyakit, dan lebih banyak orang mati karena bunuh diri daripada karena penjahat atau teroris. Bahkan, saat ini lebih banyak orang menderita karena kebanyakan makan daripada karena tidak bisa makan.
Pertanyaannya adalah kenapa itu semua bisa terjadi?
Terlepas dari segala kabar baik karena kemajuan yang ada. Kita justru dihadapkan dengan berbagai data mengenai masalah mental yang ada.
Tingkat depresi yang naik, tingkat kepuasan hidup yang rendah, tingkat overdosis yang tinggi, semuanya justru terjadi pada era kita sekarang. Di Era paling aman dan makmur.
Di zaman sekarang secara sadar ataupun tidak, kita selalu dijejali dengan berbagai pesan yang mengisyaratkan tentang “jual beli kebahagiaan”.
Contohnya seperti:
‘jika kita lebih baik dari orang lain maka kita akan bahagia”
“jika memiliki ‘A’ maka kita akan bahagia”
“jika kita terlihat seperti ‘B’ maka kita akan bahagia”
Dan “jika kita membeli ‘C’ maka kita akan bahagia”
Namun, benarkah demikian?
Nyatanya banyak orang-orang yang terjebak dalam siklus semacam itu.
Seolah-olah jika kita tidak lebih baik dari orang lain kita kalah dalam sebuah perlombaan, yang padahal hidup bukanlah sebuah perlombaan.
Lalu jika hidup kita lebih baik dari orang lain, lantas apakah kita akan bersyukur dan puas karena kemalangan yang menimpa hidup orang lain? Apakah kita akan merasa puas ketika orang lain berada “di bawah” kita? Apakah kita semenyedihkan itu?
Semakin majunya zaman, ekspektasi dan kekhawatiran manusia otomatis menjadi semakin melambung. Banyak ketakutan-ketakutan yang dalam tanda kutip “tidak masuk akal” dialami oleh manusia, dengan munculnya istilah seperti “FOMO” misalnya.
Orang–orang menjadi takut merasa “tertinggal” akan sesuatu, seperti khawatir ketinggalan zaman atau ketinggalan tren terbaru. Hal tersebut juga diiringi dengan munculnya dan semakin tingginya rasa iri serta ketidakpuasan, hanya karena ingin memuaskan “rasa ingin diakui” oleh orang lain.
Barangkali ketakutan seperti ini pernah kita rasakan juga, atau pernah terjadi di sekeliling kita.
Dengan banyaknya rasa takut, rasa khawatir, dan rasa ketidakpuasan yang tinggi, berbagai brand dan produk pun hadir yang seolah-olah dapat menjawab dan mengatasi itu semua. Bahkan saat ini hal tersebut sudah dianggap wajar sebagai bagian dari strategi marketing, untuk memberikan sebuah solusi dan menyenangkan para customer mereka.
Hal itu juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak orang memiliki gaya hidup konsumtif, yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak lagi kenikmatan ataupun kesenangan dari berbagai komoditas yang ada.
Atau sering disebut dengan istilah “HEDONISME“.
Memang benar, jika kita akan merasakan sensasi yang menyenangkan ketika berhasil melakukan, membeli, ataupun mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Contohnya seperti saat kita mendapatkan uang atau smartphone baru misalnya.
Tapi berita buruknya adalah sensasi-sensasi bahagia yang kita rasakan tersebut hanyalah sementara, yang lama-kelamaan akan mereda.
Banyak orang telah terjebak karena terbuai oleh sensasi kebahagiaan seperti itu. Dan itulah letak masalah dalam hal mengejar kebahagiaan, yang menjadi nilai dari dunia modern saat ini.
Ironisnya lagi adalah, kita hidup pada era paling makmur dan paling baik dalam sejarah umat manusia, dan semakin baik zaman kita hidup – justru karena itulah ekspektasi setiap orang semakin lama akan semakin membesar.
Karena ekspektasi semakin melambung, secara otomatis tingkat “kehausan” yang manusia miliki juga akan semakin meningkat, dan jika kita tidak melakukan sesuatu untuk hal tersebut, pencapaian kita pada masa depan juga mungkin akan membuat kita merasa tidak puas.
Dan jujur saja, bahkan ketika kita merasa senang karena melakukan atau mendapatkan sesuatu, kita cenderung memiliki nafsu untuk dalam tanda kutip “menambah” – agar dapat merasakan sensasi yang sama seperti itu lagi secara berulang-ulang.
Karena itu, betapapun banyaknya sensasi yang kita rasakan, betapapun seringnya kita mengejar “kebahagiaan”, kita tidak akan pernah puas. Dan karena dorongan nafsu untuk mengalaminya lagi dan lagi, maka kita tidak punya pilihan selain mengejarnya secara terus-menerus.
Itu adalah alasan mengapa mengejar kebahagiaan bukan hanya menghancurkan diri sendiri, tapi secara paradoks, dengan mengejar kebahagiaan kita justru membuatnya semakin menjauh dan susah untuk diraih.
Jangan sampai juga terperangkap oleh informasi-informasi yang membuat kita secara sadar ataupun tidak, jadi mulai membandingkan diri kita dengan orang lain. Karena satu-satunya orang yang pantas untuk dibandingan dengan kita adalah diri kita sendiri.
“Your Happiness is Your Own Responsibility”
Alih-alih mengejar kebahagiaan, sebenarnya ada hal lain yang jauh lebih penting untuk kita lakukan, yakni “menentukan dan mengejar tujuan hidup kita”.
Daripada mengejar kebahagiaan, akan justru lebih baik jika kita menganggap kebahagiaan adalah sebuah “efek samping” yang akan muncul dengan sendirinya ketika kita berusaha untuk mewujudkan tujuan jangka panjang kita masing-masing.
Hidup bahagia bukanlah hidup tanpa masalah. Tapi hidup dengan masalah-masalah yang lebih baik, masalah-masalah yang berkualitas, dan masalah-masalah yang bermakna. Karena yang membuat hidup ini menarik adalah kemungkinan untuk mewujudkan tujuan hidup menjadi kenyataan.
Definisi “kebahagiaan” mungkin berbeda-beda bagi setiap orang. Anda juga tak perlu mengikuti cara pikir saya, ataupun yang saya tuliskan disini.
Namun yang jelas, saya ingin membuat Anda berpikir kembali mengenai apa yang sedang Anda kejar dan ingin capai saat ini.
Dan apakah Anda masih terjebak dalam siklus “perlombaan” yang sebenarnya tidak ada dalam hidup ini?
Atau barangkali Anda masih hidup dalam siklus “menyenangkan” orang lain?
Serta yang perlu Anda ingat, kebahagiaan Anda terletak pada diri Anda sendiri, merupakan tanggung jawab Anda sendiri, dan tidak terletak pada benda atau pun orang lain.
The greatest gift you can give to somebody is
your own personal development.
I used to say, 'if you will take care of me,
I will take care of you'
Now I say, 'I will take care of me for you,
if you will take care of you for me'
- Jim Rohn
Coba pikirkan sekali lagi.
Semoga bermanfaat!
Regards,
AL
Footnotes
Terdapat beberapa jenis riset serta buku dengan penulis yang berbeda-beda, yang saya jadikan referensi saat menulis artikel kali ini: